Kamis, 02 Desember 2010

TRANS MUSI

Masalah Angkutan Umum di Palembang adalah jumlahnya yang banyak menumpuk di satu jalan di pusat kota (jalan Sudirman untuk Bus kota, dan jalan merdeka untuk oplet), sehingga persaingan menjadi sangat tinggi. Persaingan tersebut membuat operator sulit mendapatkan untung, sehingga mereka menuntut rute melalui keramaian pusat kota. Jadi masalahnya bergeser ke masalah pembagian rute.

Sejak tahun 1990, ketika Terminal di bawah jembatan Ampera, di pusat kota Palembang ditutup, mestinya Palembang sudah mempunyai perbaikan rute yang mantap sesuai dengan dasar keinginan perjalanan penumpang. Sudah sering dilakukan Survey Asal Tujuan perjalanan penumpang di Palembang ini, yaitu oleh Jurusan Teknik Sipil Unsri (Buchari Erika, 1988, 1990, 1997, Purba Rully dkk 2004), dan Bappeda kota (PUSTRAL Yogyakarta 2003). Semua menunjukkan gambaran keinginan perjalanan penumpang yang tidak dapat dipenuhi dengan pembagian rute yang ada. Sudah sering juga artikel tentang ini ditulis, tapi memang ternyata visinya belum sama, sehingga apa yang sudah berhasil dibuktikan di tempat lain mengenai pembagian rute, tidak mau diterapkan disini.

Apa definisi rute menurut ilmu Transportasi?

Rute adalah jalur pelayanan angkutan umum, tentunya dibagi sesuai dengan data survey keinginan perjalanan penumpang yaitu berdasarkan survey asal tujuan perjalanan penumpang. Rute memiliki jangkauan pelayanan, jadwal, frekuensi kedatangan dan keberangkatan angkutan umum, tariff, fasilitas berhenti (bus stop) dan terminal. Rute bukanlah barang atau hak milik pribadi yang tidak dapat diubah ubah.

Pengertian Rute bagi pengusaha transportasi adalah rute merupakan sumber penghasilan mereka, yang harus mendekati pusat keramaian agar menghasilkan banyak penumpang dan menghasilkan banyak setoran setiap harinya. (Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan dengan definisi rute diatas).

Disini terlihat masalah yang mendasar dari System pembagian Rute adalah;

1) Persepsi masyarakat, perencana dan pemerintah tentang rute tidak sama

2) Pendekatan Penangan Rute yang ada berdasarkan uji coba (trial and error) dan tidak berdasarkan ilmu perencanaan transportasi, hukum transportasi dan ekonomi transportasi.

3) Semua Rute bus (7) melalui jalan Sudirman, dan semua rute lama oplet (10) melalui jalan merdeka, yang membuat kusut dan polusi, dan bising di pusat kota.

4) Peraturan dan Organisasi Transportasi tidak mendukung keberadaan angkutan umum ini sehingga secara internasional masih dikategorikan sebagai angkutan non formal.

Sebetulnya beberapa praktek di Negara Negara berkembang dapat menjadikan wawasan betapa masalah angkutan umum non formal sudah lumrah terjadi, seperti apa yang dialami kota Palembang saat ini. Bedanya, mereka dapat keluar dari masalah ini, sementara kita “terbenam” didalamnya. Pada kenyataannya pemerintah dalam hal ini para ahli Transportasi di Dinas Perhubungan tidak dapat murni menerapkan ilmu Transportasinya, karena rute sepertinya sudah menjadi hak milik sopir dan pengusaha yang tidak bolah diganggu gugat siapapun, bahkan oleh pemerintah. Hal ini tambah seru dengan adanya demokrasi reformasi, dimana orang bebas berdemonstrasi mengemukakan pendapatnya masing masing. Dipotong atau diperpanjang sedikit saja rutenya sudah menjadi masalah. Bahkan tuntutan tersebut berkembang sampai menuntut mundurnya pejabat Dinas Perhubungan.

Tawaran untuk memperkenalkan Trans Musi kedengarannya bagus. Namun kalau semua rute tetap dipaksakan harus lewat pusat kota semua, sudah terbayang akan menjadi semakin kusutlah pusat kota Palembang. Kalau memperkenalkan angkutan umum yang bagus, dengan AC harus disertai ketepatan waktu. Kebanyakan orang memilih moda angkutannya karena ingin waktu perjalanannya lebih singkat atau minimal sama dengan ketika dia menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor). Sehingga, penekanan harus tertuju pada “mempersingkat” waktu perjalanan termasuk waktu tunggu, waktu ganti dan waktu di dalam kendaraan umum.

Kalau waktu perjalanan yang lebih singkat tidak tercapai, sulit bagi perencana mengharapkan user (pengguna) dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum baru meskipun sudah lebih modern. Contohnya saja di Jakarta, orang masih senang menggunakan mobil atau motor atau ojek, untuk mencapai tujuan dengan cepat.

Melihat kemampuan yang dimiliki oleh Palembang, dan membandingkan system di beberapa Negara berkembang lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa untuk masalah Rute di Palembang dapat diselesaikan sebagai berikut (Buchari Erika, 2008);

1) Buat Perencanaan Jaringan Angkutan Umum (Rute) secara bertingkat atau hierarchy berdasarkan survey asal dan tujuan penumpang. Tidak perlu survey lagi, karena data Bappeda, 2003 atau Unsri, 2004 masih dapat digunakan pada tahun 2008 ini. Maksudnya hierarchy disini adalah jalan jalan Utama dilayani oleh angkutan yang lebih besar, dan kemudian angkutan yang lebih kecil melayani sebagai pengumpan atau feeder.

2) Hitung berapa pengusaha angkutan umum yang rutenya “terpengaruh” atau terkena dampak akibat perencanaan ini, dan buat pendataan pendapatan dari sopir perhari saat ini (data ini sudah ada juga). Gunanya untuk menghitung besaran subsidi yang diperlukan.

3) Buat pendataan tentang pembagian rute baru yang rutenya “gemuk” dan rutenya “kurus”, kemudian buat perhitungan subsidi terhadap rute kurus. Subsidi ini ada masanya, yaitu sampai rute tersebut normal dan mendapatkan rejeki yang normal (normal market).

4) Buat Organisasi Otorita Angkutan Umum (Public Transport Authority)

5) Buat Organisasi Pengusaha Angkutan Umum yang independent, yang dilegalisasikan dan keputusannya yang dikeluarkan dapat disahkan secara hukum. (Dibuat berdasarkan Undang Undang, perlu secara nasional diperbaiki, selagi Perbaikan UULLAJ belum disahkan dapat diselipkan materi ini)

6) Buat Organisasi Partisipasi masyarakat dan working group discussion

7) Buat sistem tender untuk rute, yang pelaksanaannya dapat dilakukan didalam Organisasi Pengusaha Angkutan. Sebagian Negara tetap masih dikontrol oleh Public Transport Authority.

8) Buat aturan dengan Operator/Pengusaha Angkutan tentang cara cara a) tender rute; b) uji coba rute baru, yang memerlukan data rute baru dan kemungkinan pemasukan bagi sopir dan pengusaha angkutan c) bila sependapat membuat system pembagian giliran rute operasi bagi pengusaha d) buat bersama perhitungan subsidi bagi pengusaha yang terkena rute kurus, besaran dan lamanya subsidi

9) Sementara ada perbaikan rute, pemerintah harus menghentikan pemberian lisensi atau ijin pengusaha bus/oplet.

10) Pemerintah harus menyadari bahwa biaya subsidi tidak seberapa dibandingkan dengan biaya kemacetan terhadap a) lingkungan (polusi dan bising); b) ekonomi (waktu, ongkos BBM dan peluang melakukan kerja tambahan); c) penampilan kota yang lebih indah; dan d) kesehatan yang lebih baik untuk para sopir, pengguna jalan, masyarakat umum.

Kalau pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi sopir, sudah tahu caranya membangun kerjasama, Rute bukanlah masalah, melainkan hanyalah sebuah pelayanan, dapat jadi menguntungkan dan dapat merugikan karena usaha bersama.

Pemerintah juga harus mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat, jangan hanya melihat untungnya saja dari adanya privatisasi tetapi lebih kepada pemberdayaan swasta dalam bersama sama melayani masyarakat perkotaan.

Jangan dilihat dari berapa pemerintah mendapatkan masukan dari pajak pengusaha swasta, melainkan harus disadari keuntungan dari berapa besar pemerintah sudah dapat menghemat pengeluaran untuk biaya perbaikan lingkungan, perbaikan kota, perbaikan kesehatan dan perbaikan ekonomi serta peluang masyarakat untuk hidup lebih baik.

1 komentar:

  1. ok, thnks atas infonya bro...........gabung dnk di blog gue http//desaingrafis-ebi.blogspot.com...

    BalasHapus